Thursday, 7 June 2012

World is Mine ~ Kaito visual kei version

This was started out as a dare dealing with a friend of mine. I said I'll draw his favorite Kaito if he make a fan-dub of Kaito's version of the "World is Mine" song :D Well, he actually made a fan-dub of the song, and as I listen to it I had an idea of drawing a different "World is Mine" illustration. The artwork which started out as a joke turns out to be an artwork that I must admit being proud of, especially because I've been so blank about making any artwork recently.

The song was originaly sang by Hatsune Miku. But as it turns out that many vocaloid fans paired her with Kaito, another version of the song was made. The song is more or less the same, but the lyrics were made as if it was Kaito singing about Miku being his number one princess in the whole world.

Pendidik VS Pengajar, Pekerjaan VS Profesi


Siang tadi di sebuah warung kopi dekat tempat saya mengajar, saya menyempatkan diri untuk melakukan satu hal yang sudah cukup lamatidak sempat saya lakukan, yaitu “menggelar” diskusi warung kopi bersama partner saya tercintah (ecieeee). Entah kenapa, sejak jaman riset TA, saya jadi sering ikut Shu dan kakak2 senior nongkrong ke warung kopi deket rumah.  Tujuan utamanya dulu cari makan dan ngopi selepas begadang nggarap proposal, namun entah kenapa makin kesini ngobrol di warung kopi sama dengan menggelar diskusi panjang kali lebar dengan berbagai macam topik yang (memang) kesana-kemari, tapi tidak ringan.

Obrolan saya kali ini adalah cerita-cerita curhat mengenai beragam kejadian yang akhir2 ini terjadi di tempat saya mengajar. Saya sudah cukup lama tidak ngupdate Shu dengan hal2 yang baru2 ini terjadi di sana. (Saking lamanya ato saking banyaknya), cerita2 itu akhirnya jadi semacam dump memory yang kalo tidak dibersihkan bisa membuat saya lemot. Jadilah saya putuskan untuk bercerita.
Dua topik utama yang saya obrolkan adalah perlu-tidaknya pengetahuan mengenai dunia akademik untuk diberikan kepada sarjana desain yang memiliki minat dalam dunia pengajaran, serta perbedaan karakter pendidik dan anak didiknya.

Sebagai sarjana Desain Komunikasi Visual, saya tentu tidak memiliki bekal yang memadai untuk berkiprah sebagai pengajar tingkat perguruan tinggi. Bekal yang saya miliki adalah bekal untuk dapat menjalani profesi sebagai seorang desainer komunikasi visual, bukan sebagai pengajar desain komunikasi visual. Saya merasa berkompeten untuk berbagi ilmu, tapi saya tidak memiliki bekal kompetensi untuk menyusun silabus misalnya, atau sekedar pemahaman mengenai jalur birokrasi perguruan tinggi pada umumnya (selain karena tentu tiap perguruan tinggi memiliki sistem birokrasinya masing-masing). Yang bisa saya lakukan sementara ini adalah membagikan dan berpegang pada pengetahuan dan pengalaman saya sebagai orang yang telah lebih dahulu tuntas menempuh pendidikan tahap sarjana. Orang-orang lain yang berkeinginan menjadi pengajar pada  jurusan tertentu mungkin masih terakomodasi oleh jurusan2 yg terdapat pada PGRI. Nah, kalo untuk DKV, saya kurang yakin dan kurang tahu apakah masih diakomodasi oleh Unesa (yg dulunya PGRI dan sekarang pun masih punya jurusan desain grafis).

Kata kakeknya Shu, ada empat tipe orang pintar. Yang pertama yaitu orang pandai yang kepandaiannya disimpan sendiri, orang pandai yang pandai minteri orang lain, orang pandai yang mampu membuat orang lain jadi pandai juga, dan orang pandai yang tidak bisa membuat orang lain jadi pandai walaupun dia ingin. Nah, kalau menurut pengamatan saya, tanpa bekal kemampuan mengajar  secara akademis, saya hanya akan jadi tipe orang pandai yang keempat. Tentu saya bisa menjadi tipe orang pandai yang ketiga ketika saya sudah punya pengalaman yang cukup dalam hal kegiatan mengajar. Namun birokrasi dan peraturan pemerintah mengenai kewajiban S2 bagi dosen pengajar mahasiswa S1 membuat saya dibatasi oleh waktu dan durasi untuk menimba pengalaman mengajar langsung. Kalo buat saya sih sebenarnya walau lulusan S2 juga kalau tidak punya kemampuan mengkomunikasikan ilmunya toh juga mahasiswanya tidak akan begitu paham kan si dosen ini ngomong soal apa? Berdasarkan pengalaman pengamatan saya pribadi, saya meyakini ada banyak sekali orang hebat yang tidak pandai menyampaikan ilmunya pada orang lain, dan hal semacam inilah yang sebenarnya kalau bisa tidak terjadi pada orang-orang desain yang punya keinginan untuk menjadi pengajar (dengan cara mendapat pembekalan khusus untuk mengatasi hal semacam ini).

Kedua, dari obrolan kami barusan sih kami merasa bahwa bidang ilmu Desain Komunikasi Visual di Indonesia sendiri masih belum menemukan bentuknya. Yang kami maksud bentuk disini adalah format DKV sebagai bidang ilmu yang tentunya dituntut untuk memiliki tolok ukur keberhasilan atau kegagalan pengajaran yang jelas dalam jenjang keilmuannya.  Semuanya masih berdasarkan pengalaman, sementara saya yakin iklim Indonesia masih belum mengakomodasi para desainer untuk mendapat pengalaman mendesain yang layak. Desainer yang sudah punya pengalaman pun biasanya sudah kadung sibuk dengan lingkungan kerjanya untuk masih dapat menyisakan waktu berbagi ilmu (ditambah lagi penghasilan dari profesi pengajar jelas tidak bisa dibandingkan dengan nilai proyek mereka).

Kalo kondisinya seperti itu, berarti sekarang terpulang pada tenaga pendidiknya dong, mau membentuk anak didiknya jadi seperti apa?
Nah…disini muncul lagi masalah yang sangat mendasar dan juga sangat personal sebenernya.
 Apa yang sebenernya menjadi motivasi tenaga pendidik? Sekedar menjadi pengajar? Atau ingin menjadi pendidik?
Lalu mengajar itu apa? Pekerjaan kah? Atau profesi?

Disini saya membedakan pengajar dengan pendidik, dan pekerjaan dengan profesi, karena bagi saya kedua pasang kata tersebut memiliki makna yang berbeda.
Pendidik itu mengajar, tapi pengajar belum tentu mendidik. Mengajar bagi saya adalah sekedar menjalankan kewajiban mengajar :  menyampaikan materi ajar, melakukan evaluasi,  merekap hasil evaluasi dan memilah mereka yg berhasil diajar dan mereka yang tidak berhasil menangkap apa yang diajarkan. Sementara bagi saya mendidik berarti menjalankan kewajiban sebagai pengajar dengan cara memahami anak didiknya dan pada tahapan yang lebih tinggi menuntun serta memotivasi anak didiknya untuk memahami dan mencapai hasil yang lebih daripada yang sewajarnya didapatkan.

Seseorang bisa saja dibilang punya pekerjaan, namuun pekerjaannya belum tentu bisa dianggap sebagai profesinya. Saya bisa saja bekerja sebagai kasir, hanya karena saya butuh gaji untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Namun ketika saya memiliki sesuatu yang saya sebut profesi, itu berarti saya memiliki motivasi lebih untuk tidak hanya mendapatkan uang /gaji, namun juga mewujudkan visi dan misi saya melalui apa yang saya kerjakan.

Ketika saya hanya menjalankan kewajiban saya sebagai pengajar, saya bisa tidak ambil pusing mengenai karakter anak didik saya dan serta-merta menerapkan apapun yang dulu guru/dosen saya lakukan pada saat saya masih belajar. Padahal, karakter mahasiswa Despro ITS dan mahasiswa Teknik Perkapalan misalnya, yang masih sama-sama ITSnya saja sudah berbeda. Apalagi karakter mahasiswa almamater saya dengan tempat saya mengajar sekarang. Bolehlah saya menggunakan apa yang dulu diajarkan kepada saya sebagai acuan. Namun mengingat perbedaan karakter manusianya, tentu cara dan metode menyampaikan ilmunya juga tidak dapat disamakan. Nah, kalau sudah begitu, maka sekarang bergantung pada mau tidaknya tenaga pendidik mencoba mengenali dan memahami (dan nantinya memutar otak mencari cara)agar ilmu yang ingin dibagikan diterima dengan baik.

Ketika kegiatan mengajar ini saya lakukan semata-mata hanya sebagai sarana mencari duid, maka saya merasa saya tidak perlulah sampai pusing2  memutar otak mencari cara agar ilmu saya sampai pada anak didik saya. Mau sampai atau tidak, toh evaluasi hasil kerja saya juga tidak dilakukan seketika itu juga. Mau anak didiknya dapat nilai bagus atau tidak, toh yang menuliskan nilainya satu per satu di kertas gambar mereka dan lembar Microsoft excel saya juga tangan saya kan?

Namun ketika saya memiliki motivasi berbagi ilmu dan pengalaman, menganggap pekerjaan saya adalah bagian dari ibadah saya (seperti yang dilakukan orang-orang Jepang yang saya kagumi), dan memiliki keinginan untuk menjadikan pekerjaan ini sebagai sebuah profesi tempat saya bisa mewujudkan visi dan misi saya mengenai dunia pendidikan desain, maka saya pasti akan merasa terganggu ketika saya sudah merasa berusaha semampu saya untuk menyampaikan materi ajar dan lantas disambut dengan keluhan mahasiswa yang tidak paham (atau bahkan masa bodo).

Apakah mereka lantas bisa disalahkan karena ketidak-pedulian mereka terhadap apa yang saya ajarkan? Tidak. Ada ungkapan lama yg berbunyi “Tidak ada murid yang salah. Yang ada ya gurunya yang salah mengajar muridnya”. Sebelum sampai pada keputusan untuk mempersalahkan murid, ada baiknya saya sebagai pengajar bertanya pada diri sendiri apa yang telah salah saya lakukan. Apakah saya telah memberi contoh tindakan menyepelekan hal-hal kecil sehingga mereka menyepelekan hal-hal yang besar? Apakah saya telah mengatakan atau melakukan sesuatu yang membuat mereka kehilangan rasa hormat kepada saya? Apakah saya terlalu muda dan terlalu hijau untuk menempatkan diri sebagai pengajar mereka? Apakah sesepele saya tidak berhasil menunjukkan apa yang menarik dari materi yang harus saya sampaikan?

Satu hal yang saya sadari dari anak-anak didik saya adalah kecenderungan mereka untuk tidak mempedulikan apapun yang tidak mereka temukan atau rasakan kegunaan/manfaat/fungsinya, baik dalam jangka panjang atau jangka pendek. Dengan kata lain, kalau tidak ditunjukkan apa kegunaan nyatanya menyelesaikan tugas ini dan itu, ya mereka tidak akan ambil pusing dengan tugas A dan B, sehingga akhirnya mereka hanya akan melakukan tugas tersebut sambil lalu sebagai syarat mendapatkan ijazah S1.Karakter mereka yang seperti ini tentunya jelas berbeda dengan mahasiswa perguruna tinggi lain yang mungkin masih akan menyelesaikan tugas A dan B karena (paling tidak) mereka merasa dapat bersenang-senang dengan teman-temannya dalam pengerjaan tugas tersebut, atau mahasiswa perguruan tinggi lain yang mengganggap berhasil menyelesaikan suatu tugas lebih baik dan lebih cepat daripada orang lain adalah sesuatu yang sangat bisa dibanggakan dalam lingkungannya.

Karakter tersebut juga bukan sesuatu yang dapat dengan mudah diubah dalam jangka waktu pendidikan perguruan tinggi, karena telah lama dibentuk oleh sekolah asal, lingkungan tempat tinggal dan pergaulan, proses seleksi penerimaan mahasiswa, serta proses orientasi awal mahasiswa di perguruan tinggi yang bersangkutan. Bisa-bisa saja sih sebenernya karakter mereka dirubah paksa (dan instan) melalui proses OSPEK yang benar. Tapi sayangnya peyimpangan praktek OSPEK pada umumnya telah mebuat proses tersebut tercoreng sedemikian rupa menjadi suatu proses balas dendam senior terhadap junior dan akhirnya dilarang diberlakukan. Kalau sudah begitu, sekarang proses belajar mengajar pasti dikembalikan lagi ke karakter tenaga pendidiknya : apa yang bisa saya lakukan untuk tetap dapat membuat anak didik dengan karakteristik seperti itu mau memahami apa yang harus saya sampaikan?

Sampai disini jujur saya masih merasa belum ada apa-apanya.
Saya punya keinginan, namun saya masih belum tahu apa saya punya kemampuan untuk melakukan apa yang saya inginkan. Saya punya keinginan, tapi masih banyak hal lain diluar kuasa saya yang mungkin akan menghalangi saya untuk dapat berlaku sesuai dengan apa yang saya inginkan. Saya punya keinginan, tapi saya masih belum tahu sampai pada batas apa saya ingin melakukan apa yang saya inginkan. Satu-satunya cara untuk mengetahui jawaban semua pertanyaan saya hanyalah dengan terus berjalan dan berusaha sebaik mungkin menjadi gambaran ideal diri saya, hingga semuanya terjawab atau hingga semua jalan yang saya ketahui tidak lagi bisa membawa saya ke arah yang saya harapkan.

Apa yang saya tulis diatas bukan merupakan kritik terhadap pihak manapun, tapi lebih kepada keinginan saya untuk berbagi hasil renungan pribadi saya terkait dengan apa yang saya lakukan sekarang. Beberapa poin di atas memang merupakan idealisme saya pribadi. Walaupun begitu, sebagai manusia, saya juga tentu masih sering gagal berlaku sesuai dengan idealisme saya sendiri. Saya juga bukannya tidak pernah mengeluh mengenai anak didik saya (sering malah XD), tapi bagi saya yang penting adalah apa yang akan saya lakukan selesai mengeluh : apakah saya akan terus mengeluh dan gengsi dan lantas malah menyangkal dan mempersalahkan pihak lain, atau saya jadikan sebagai pelajaran dan membentuk niatan untuk memperbaiki diri saya di masa mendatang. Minimal, melalui tulisan ini, saya merasa menggambar sebuah peta niatan untuk mewujudkan keinginan saya : menjadikan pendidik sebagai profesi saya disamping menerapkan ilmu saya sebagai seorang desainer. 

Mungkin, suatu hari nanti ketika saya mulai lelah dan ingin berhenti mengajar, saya bisa tersemangati lagi dengan membaca tulisan ini. Walau demikianpun saya rasa hakikat mendidik adalah berbagi ilmu dan pengalaman, dan tentunya tidak perlulah saya merasa terbatasi oleh ruangan yang disebut kelas dan institusi yang disebut sekolah :)