Siang tadi di sebuah
warung kopi dekat tempat saya mengajar, saya menyempatkan diri untuk melakukan
satu hal yang sudah cukup lamatidak sempat saya lakukan, yaitu “menggelar”
diskusi warung kopi bersama partner saya tercintah (ecieeee). Entah kenapa, sejak
jaman riset TA, saya jadi sering ikut Shu dan kakak2 senior nongkrong ke warung
kopi deket rumah. Tujuan utamanya dulu
cari makan dan ngopi selepas begadang nggarap proposal, namun entah kenapa
makin kesini ngobrol di warung kopi sama dengan menggelar diskusi panjang kali
lebar dengan berbagai macam topik yang (memang) kesana-kemari, tapi tidak
ringan.
Obrolan saya kali ini adalah cerita-cerita curhat mengenai beragam kejadian
yang akhir2 ini terjadi di tempat saya mengajar. Saya sudah cukup lama tidak
ngupdate Shu dengan hal2 yang baru2 ini terjadi di sana. (Saking lamanya ato
saking banyaknya), cerita2 itu akhirnya jadi semacam dump memory yang kalo
tidak dibersihkan bisa membuat saya lemot. Jadilah saya putuskan untuk
bercerita.
Dua topik utama yang saya obrolkan adalah perlu-tidaknya pengetahuan mengenai
dunia akademik untuk diberikan kepada sarjana desain yang memiliki minat dalam
dunia pengajaran, serta perbedaan karakter pendidik dan anak didiknya.
Sebagai sarjana Desain Komunikasi Visual, saya tentu tidak memiliki bekal yang
memadai untuk berkiprah sebagai pengajar tingkat perguruan tinggi. Bekal yang
saya miliki adalah bekal untuk dapat menjalani profesi sebagai seorang desainer
komunikasi visual, bukan sebagai pengajar desain komunikasi visual. Saya merasa
berkompeten untuk berbagi ilmu, tapi saya tidak memiliki bekal kompetensi untuk
menyusun silabus misalnya, atau sekedar pemahaman mengenai jalur birokrasi
perguruan tinggi pada umumnya (selain karena tentu tiap perguruan tinggi
memiliki sistem birokrasinya masing-masing). Yang bisa saya lakukan sementara
ini adalah membagikan dan berpegang pada pengetahuan dan pengalaman saya
sebagai orang yang telah lebih dahulu tuntas menempuh pendidikan tahap sarjana.
Orang-orang lain yang berkeinginan menjadi pengajar pada jurusan tertentu mungkin masih terakomodasi
oleh jurusan2 yg terdapat pada PGRI. Nah, kalo untuk DKV, saya kurang yakin dan
kurang tahu apakah masih diakomodasi oleh Unesa (yg dulunya PGRI dan sekarang
pun masih punya jurusan desain grafis).
Kata kakeknya Shu, ada empat tipe orang pintar. Yang pertama yaitu orang pandai
yang kepandaiannya disimpan sendiri, orang pandai yang pandai minteri orang lain, orang pandai yang
mampu membuat orang lain jadi pandai juga, dan orang pandai yang tidak bisa
membuat orang lain jadi pandai walaupun dia ingin. Nah, kalau menurut pengamatan
saya, tanpa bekal kemampuan mengajar
secara akademis, saya hanya akan jadi tipe orang pandai yang keempat.
Tentu saya bisa menjadi tipe orang pandai yang ketiga ketika saya sudah punya
pengalaman yang cukup dalam hal kegiatan mengajar. Namun birokrasi dan
peraturan pemerintah mengenai kewajiban S2 bagi dosen pengajar mahasiswa S1
membuat saya dibatasi oleh waktu dan durasi untuk menimba pengalaman mengajar
langsung. Kalo buat saya sih sebenarnya walau lulusan S2 juga kalau tidak punya
kemampuan mengkomunikasikan ilmunya toh juga mahasiswanya tidak akan begitu
paham kan si dosen ini ngomong soal apa? Berdasarkan pengalaman pengamatan saya
pribadi, saya meyakini ada banyak sekali orang hebat yang tidak pandai
menyampaikan ilmunya pada orang lain, dan hal semacam inilah yang sebenarnya
kalau bisa tidak terjadi pada orang-orang desain yang punya keinginan untuk
menjadi pengajar (dengan cara mendapat pembekalan khusus untuk mengatasi hal
semacam ini).
Kedua, dari obrolan
kami barusan sih kami merasa bahwa bidang ilmu Desain Komunikasi Visual di
Indonesia sendiri masih belum menemukan bentuknya. Yang kami maksud bentuk
disini adalah format DKV sebagai bidang ilmu yang tentunya dituntut untuk
memiliki tolok ukur keberhasilan atau kegagalan pengajaran yang jelas dalam
jenjang keilmuannya. Semuanya masih
berdasarkan pengalaman, sementara saya yakin iklim Indonesia masih belum
mengakomodasi para desainer untuk mendapat pengalaman mendesain yang layak.
Desainer yang sudah punya pengalaman pun biasanya sudah kadung sibuk dengan
lingkungan kerjanya untuk masih dapat menyisakan waktu berbagi ilmu (ditambah
lagi penghasilan dari profesi pengajar jelas tidak bisa dibandingkan dengan
nilai proyek mereka).
Kalo kondisinya seperti itu, berarti sekarang terpulang pada tenaga pendidiknya
dong, mau membentuk anak didiknya jadi seperti apa?
Nah…disini muncul lagi masalah yang sangat mendasar dan juga sangat personal
sebenernya.
Apa yang sebenernya menjadi motivasi
tenaga pendidik? Sekedar menjadi pengajar? Atau ingin menjadi pendidik?
Lalu mengajar itu apa? Pekerjaan kah? Atau profesi?
Disini saya membedakan pengajar dengan pendidik, dan pekerjaan dengan profesi,
karena bagi saya kedua pasang kata tersebut memiliki makna yang berbeda.
Pendidik itu mengajar, tapi pengajar belum tentu mendidik. Mengajar bagi saya
adalah sekedar menjalankan kewajiban mengajar :
menyampaikan materi ajar, melakukan evaluasi, merekap hasil evaluasi dan memilah mereka yg
berhasil diajar dan mereka yang tidak berhasil menangkap apa yang diajarkan.
Sementara bagi saya mendidik berarti menjalankan kewajiban sebagai pengajar
dengan cara memahami anak didiknya dan pada tahapan yang lebih tinggi menuntun
serta memotivasi anak didiknya untuk memahami dan mencapai hasil yang lebih
daripada yang sewajarnya didapatkan.
Seseorang bisa saja dibilang punya pekerjaan, namuun pekerjaannya belum tentu
bisa dianggap sebagai profesinya. Saya bisa saja bekerja sebagai kasir, hanya
karena saya butuh gaji untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Namun ketika
saya memiliki sesuatu yang saya sebut profesi, itu berarti saya memiliki
motivasi lebih untuk tidak hanya mendapatkan uang /gaji, namun juga mewujudkan
visi dan misi saya melalui apa yang saya kerjakan.
Ketika saya hanya menjalankan kewajiban saya sebagai pengajar, saya bisa tidak
ambil pusing mengenai karakter anak didik saya dan serta-merta menerapkan
apapun yang dulu guru/dosen saya lakukan pada saat saya masih belajar. Padahal,
karakter mahasiswa Despro ITS dan mahasiswa Teknik Perkapalan misalnya, yang
masih sama-sama ITSnya saja sudah berbeda. Apalagi karakter mahasiswa almamater
saya dengan tempat saya mengajar sekarang. Bolehlah saya menggunakan apa yang
dulu diajarkan kepada saya sebagai acuan. Namun mengingat perbedaan karakter
manusianya, tentu cara dan metode menyampaikan ilmunya juga tidak dapat
disamakan. Nah, kalau sudah begitu, maka sekarang bergantung pada mau tidaknya
tenaga pendidik mencoba mengenali dan memahami (dan nantinya memutar otak
mencari cara)agar ilmu yang ingin dibagikan diterima dengan baik.
Ketika kegiatan mengajar ini saya lakukan semata-mata hanya sebagai sarana
mencari duid, maka saya merasa saya tidak perlulah sampai pusing2 memutar otak mencari cara agar ilmu saya
sampai pada anak didik saya. Mau sampai atau tidak, toh evaluasi hasil kerja
saya juga tidak dilakukan seketika itu juga. Mau anak didiknya dapat nilai
bagus atau tidak, toh yang menuliskan nilainya satu per satu di kertas gambar mereka
dan lembar Microsoft excel saya juga tangan saya kan?
Namun ketika saya memiliki motivasi berbagi ilmu dan pengalaman, menganggap
pekerjaan saya adalah bagian dari ibadah saya (seperti yang dilakukan
orang-orang Jepang yang saya kagumi), dan memiliki keinginan untuk menjadikan
pekerjaan ini sebagai sebuah profesi tempat saya bisa mewujudkan visi dan misi
saya mengenai dunia pendidikan desain, maka saya pasti akan merasa terganggu
ketika saya sudah merasa berusaha semampu saya untuk menyampaikan materi ajar
dan lantas disambut dengan keluhan mahasiswa yang tidak paham (atau bahkan masa
bodo).
Apakah mereka lantas bisa disalahkan karena ketidak-pedulian mereka terhadap
apa yang saya ajarkan? Tidak. Ada ungkapan lama yg berbunyi “Tidak ada murid
yang salah. Yang ada ya gurunya yang salah mengajar muridnya”. Sebelum sampai
pada keputusan untuk mempersalahkan murid, ada baiknya saya sebagai pengajar
bertanya pada diri sendiri apa yang telah salah saya lakukan. Apakah saya telah
memberi contoh tindakan menyepelekan hal-hal kecil sehingga mereka menyepelekan
hal-hal yang besar? Apakah saya telah mengatakan atau melakukan sesuatu yang
membuat mereka kehilangan rasa hormat kepada saya? Apakah saya terlalu muda dan
terlalu hijau untuk menempatkan diri sebagai pengajar mereka? Apakah sesepele
saya tidak berhasil menunjukkan apa yang menarik dari materi yang harus saya
sampaikan?
Satu hal yang saya sadari dari anak-anak didik saya adalah kecenderungan mereka
untuk tidak mempedulikan apapun yang tidak mereka temukan atau rasakan
kegunaan/manfaat/fungsinya, baik dalam jangka panjang atau jangka pendek.
Dengan kata lain, kalau tidak ditunjukkan apa kegunaan nyatanya menyelesaikan
tugas ini dan itu, ya mereka tidak akan ambil pusing dengan tugas A dan B,
sehingga akhirnya mereka hanya akan melakukan tugas tersebut sambil lalu
sebagai syarat mendapatkan ijazah S1.Karakter mereka yang seperti ini tentunya
jelas berbeda dengan mahasiswa perguruna tinggi lain yang mungkin masih akan
menyelesaikan tugas A dan B karena (paling tidak) mereka merasa dapat
bersenang-senang dengan teman-temannya dalam pengerjaan tugas tersebut, atau
mahasiswa perguruan tinggi lain yang mengganggap berhasil menyelesaikan suatu
tugas lebih baik dan lebih cepat daripada orang lain adalah sesuatu yang sangat
bisa dibanggakan dalam lingkungannya.
Karakter tersebut juga bukan sesuatu yang dapat dengan mudah diubah dalam
jangka waktu pendidikan perguruan tinggi, karena telah lama dibentuk oleh
sekolah asal, lingkungan tempat tinggal dan pergaulan, proses seleksi
penerimaan mahasiswa, serta proses orientasi awal mahasiswa di perguruan tinggi
yang bersangkutan. Bisa-bisa saja sih sebenernya karakter mereka dirubah paksa (dan instan)
melalui proses OSPEK yang benar. Tapi sayangnya peyimpangan praktek OSPEK
pada umumnya telah mebuat proses tersebut tercoreng sedemikian rupa menjadi
suatu proses balas dendam senior terhadap junior dan akhirnya dilarang diberlakukan.
Kalau sudah begitu, sekarang proses belajar mengajar pasti dikembalikan lagi ke
karakter tenaga pendidiknya : apa yang bisa saya lakukan untuk tetap dapat membuat
anak didik dengan karakteristik seperti itu mau memahami apa yang harus saya sampaikan?
Sampai disini jujur saya masih merasa belum ada apa-apanya.
Saya punya
keinginan, namun saya masih belum tahu apa saya punya kemampuan untuk melakukan
apa yang saya inginkan. Saya punya keinginan, tapi masih banyak hal lain diluar
kuasa saya yang mungkin akan menghalangi saya untuk dapat berlaku sesuai dengan
apa yang saya inginkan. Saya punya keinginan, tapi saya masih belum tahu sampai
pada batas apa saya ingin melakukan apa yang saya inginkan. Satu-satunya cara untuk mengetahui jawaban semua pertanyaan saya hanyalah dengan terus berjalan dan berusaha sebaik mungkin menjadi gambaran ideal diri saya, hingga semuanya terjawab atau hingga semua jalan yang saya ketahui tidak lagi bisa membawa saya ke arah yang saya harapkan.
Apa yang saya tulis diatas bukan merupakan kritik terhadap pihak manapun, tapi
lebih kepada keinginan saya untuk berbagi hasil renungan pribadi saya terkait
dengan apa yang saya lakukan sekarang. Beberapa poin di atas memang merupakan idealisme
saya pribadi. Walaupun begitu, sebagai manusia, saya juga tentu masih sering
gagal berlaku sesuai dengan idealisme saya sendiri. Saya juga bukannya tidak
pernah mengeluh mengenai anak didik saya (sering malah XD), tapi bagi saya yang
penting adalah apa yang akan saya lakukan selesai mengeluh : apakah saya akan
terus mengeluh dan gengsi dan lantas malah menyangkal dan mempersalahkan pihak
lain, atau saya jadikan sebagai pelajaran dan membentuk niatan untuk memperbaiki
diri saya di masa mendatang. Minimal, melalui tulisan ini, saya merasa menggambar sebuah peta niatan untuk mewujudkan keinginan saya : menjadikan pendidik sebagai
profesi saya disamping menerapkan ilmu saya sebagai seorang desainer.
Mungkin, suatu hari
nanti ketika saya mulai lelah dan ingin berhenti mengajar, saya bisa
tersemangati lagi dengan membaca tulisan ini. Walau demikianpun saya rasa hakikat
mendidik adalah berbagi ilmu dan pengalaman, dan tentunya tidak perlulah saya
merasa terbatasi oleh ruangan yang disebut kelas dan institusi yang disebut
sekolah :)